BIDIK NEWS | BANYUWANGI -Sikap Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi yang diduga mengabaikan putusan dan mengulur-ulur waktu eksekusi menjadi sorotan dan perbincangan sejumlah kalangan.
Pasalnya, hingga saat ini pihak PN Banyuwangi belum melakukan eksekusi terhadap obyek sengketa dengan penggugat bernama Kholisul Fuad yang berlokasi di Desa Dadapan, Kecamatan Kabat. Padahal obyek sengketa tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi nomor 5/Pdt.Eks/2018/PN.Bwi.
Eksekusi tersebut tidak dilakukan oleh PN Banyuwangi dikarenakan adanya perbedaan nomor persil tanah (objek sengketa), padahal objek sengketa tersebut, sudah bersertipikat hak milik (SHM).
Menanggapi hal itu, salah seorang Praktisi Hukum di Banyuwangi yang berinisial IPK mengatakan, putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus segera untuk ditindak lanjuti dengan mekanisme eksekusi, kecuali putusan tersebut bersifat non-executable (tidak dapat dijalankan) untuk dilakukan eksekusi.
Menurutnya, putusan yang bersifat non-executable yaitu harta kekayaan tereksekusi tidak ada, putusan bersifat deklaratoir, barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga, eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel, barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga, tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya, perubahan status tanah menjadi milik Negara, barang objek eksekusi berada di luar negeri, dua putusan yang saling berbeda, Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.
“Seharusnya yang menjadi acuan untuk dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan eksekusi ialah berdasarkan SHM tersebut, apabila terjadi kerancuan mengenai nomor persil yang saat ini menjadi hambatan pelaksanaan eksekusi, pihak pengadilan negeri berwenang untuk meminta konfirmasi dari pihak BPN selaku lembaga yang menerbitkan SHM,” kata IPK.
Dia menjelaskan, perdebatan masalah kerancuan nomor persil ataupun letak tanah yang menjadi objek sengketa seharusnya terjadi dalam lingkup proses persidangan dengan diadakannya pemeriksaan setempat, bukan malah terjadi pada saat adanya putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sehingga, dikemudian hari masyarakat tidak memberikan stigma kepada pengadilan dalam hal pelaksanaan eksekusi yang berlaru-larut.
Oleh karena itu, lanjut IPK, Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable, sebelum seluruh proses atau acara eksekusi dilaksanakan. Penetapan non-executable harus didasarkan berita acara yang dibuat oleh Juru Sita yang diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut.
“Untuk menjamin kepastian hukum kepada pihak pemohon eksekusi, seyogyanya pihak pengadilan negeri agar lebih pro aktif menyikapi permalahan tersebut, guna terciptanya rasa keadilan terhadap para pihak yang selama ini mencari keadilan melalui wadah peradilan,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi diduga telah mengabaikan putusan dan mengulur-ulur waktu pelaksanaan eksekusi tanah dan rumah milik Kholisul Fuad yang berada di Desa Dadapan, Kecamatan Kabat.
Padahal, permohonan penetapan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi sudah diajukan sejak tanggal 14 Desember 2018 lalu.
Menurut keterangan Kuasa Hukum Kholisul Fuad, Dudy Sucahyo, SH mengatakan, kliennya sudah membayar uang panjar sebesar 12 juta untuk biaya eksekusi tersebut. Namun, pihak PN Banyuwangi hingga saat ini tidak segera melakukan eksekusi.
Dudy mengungkapkan, kliennya merupakan pemilik sah tanah dan bangunan tersebut, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 103/Pdt.G/2009/PN.BWI tanggal 8 Maret 2010, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor : 425/PDT/2010/PT.Sby tanggal 2 September 2010, Putusan Mahkamah Agung (MA) RI Nomor : 2072K/Pdt/2011 tanggal 8 Desember 2011, yaitu menolak permohonan Kasasi yang diajukan Amaniyah dan Nur Imama selaku pihak tergugat. Dan Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor : 197/Pdt.G/2013/PN.BWI, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak tanggal 2 Mei 2014.(nng)