SURABAYA|BIDIK– Dokter Aucky Hinting (AH), pemilik klinik Ferina, salah satu klinik terkenal di Surabaya, Jawa Timur, dan Ikatan Dokter Indonesia cabang setempat digugat oleh, Tommy Hans (TH) dan istrinya Evelin Saputra (ES), warga Surabaya Timur. Gugatan terkait janji bayi tabung berjenis kelamin lelaki, kenyataannya perempuan.
Gugatan dilayangkan oleh suami istri ini ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor perkara 325/Pdt.G/2017/PN.Sby. Gugatan dilayangkan setelah IDI Surabaya memutus aduan kode etik atas Dokter AH secara kilat.
Penggugat menduga putusan IDI di luar prosedur karena diputus sehari setelah aduan. “Tadi pagi digelar mediasi dengan pihak tergugat di pengadilan,” kata Eduard Rudy, kuasa hukum pasutri penggugat, kepada wartawan di Surabaya, Jawa Timur, (18/72017).
Pada proses mediasi yang difasilitasi oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Jhon Manopo menemui jalan buntu. Dokter AH selaku tergugat tiga kali mangkir dari panggilan. Sehingga, hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan gugatan ini ke tahap berikutnya yaitu pembuktian.
Kasus ini bermula ketika Tommy dan Evelin menginginkan anak laki-laki. Konsultasi kemana-mana, ketemulah klinik kesehatan Ferina milik Dokter AH pada 2015. “Klien saya pasangan normal, sudah punya satu anak perempuan, sekarang usia dua tahun. Tapi ingin anak laki-laki,” ujar Eduard.
Singkat cerita, TH-ES mengikuti program bayi tabung di klinik miik dokter AH. Selain secara langsung, keduanya juga berkonsultasi aktif melalui aplikasi WhatsApp dengan staf klinik. Dalam satu obrolan WA, klinik memberitahukan kepada penggugat empati hasil embrio. “Konsultasi awal Mei 2015,” katanya.
“Satu (embrio) laki, satu perempuan, satu tidak bagus, satu lagi rusak,” kata Eduard menjelaskan percakapan WA antara klikik dengan ES, sembari menunjukkan bukti WA itu. “Klien saya memilih embrio laki-laki. Ada biayanya tiga belas juta dibayarkan. Saya ada bukti kuitansinya.”
Ditanamlah embrio tabung itu ke rahim ES. Saat usia kandungan enam bulan, klien Eduard mengalami pendarahan. Dia menyebut kliennya tiga kali mengalami kondisi kritis. Saat itu pula diketahui jenis kelamin janin ES perempuan, bukan laki-laki seperti dijanjikan AH.
Yang dikesalkan pasutri ini, selama masa kritis, Dokter AH terkesan menghindar. Dia, kata Eduard, juga tidak merespons ketika diminta rekomendasi dokter anak dimana bisa didatangi. “Akhirnya bayi tabung klien kami dilahirkan paksa secara prematur. Saat lahir, maaf-maaf, kondisinya memprihatinkan,” ucapnya.
Sebetulnya, lanjut Eduard, kliennya menerima meski bayi tabung hasil program di klinik UF perempuan. Tetapi yang disesalkan TH-ES ialah ogahnya Dokter AG mengakui kesalahannya. “Bahkan klien kami didatangi dua orang suruhan Dokter AH dan dipaksa meneken surat pernyataan tidak akan menuntut dan disodori uang damai seratus juta,” ujarnya.
Surat pernyataan itu kiranya yang dijadikan Dokter AH sehingga bebas dari sanksi kode etik IDI Surabaya. Padahal, surat pernyataan itu dicabut oleh TH-ES dan ‘uang damai’ akan dikembalikan melalui Bank Danamon. “Lucunya, IDI memutus Dokter AH tidak bersalah hanya satu hari setelah aduan klien kami,” katanya.
Eduard menuturkan, gugatan terpaksa dilayangkan ke PN Surabaya karena tidak ada iktikad baik dari Dokter AH. IDI Surabaya ikut digugat karena diduga menyidangkan kode etik AH secara nonprosedural. “Klien kami hanya menuntut Dokter AH mengakui kesalahannya atas janji-janji palsunya secara tulus,” katanya. Sidang perkara ini, dilanjutkan dua pekan kedepan. (eno)