GRESIK — Mendaratnya tentara sekutu di Surabaya pada 25 Oktober 1945, yaitu militer Inggris dari Brigade Infantri India 49 Maratha di bawah kepemimpinan Brigjend Mallaby. Membuat para pemuda Surabaya marah. Akibatnya, terjadi pertempuran selama tiga hari antara Brigade 49 dengan para pejuang Republik Indonesia dari berbagai elemen.
Drama kolosal yang juga diperankan Bupati Gresik Sambari Halim Radianto bersama seluruh Pejabat Pemkab Gresik saat memainkan lakon perjuangan merebut kemerdekaan pada 10 Nopember 1945, dilaksanakan seusai upacara Hari Pahlawan, Minggu (10/11).
Beberapa peran penting dimainkan Bupati Gresik bersama para Pejabat Pemkab Gresik. Bupati Sambari mengambil peran sebagai Bung Tomo. Wakil Bupati Mohammad Qosim berperan sebagai KH. Hasyim Asyhari dan Plh Sekda Gresik, Nadlif berperan sebagai Gubernur Suryo.
Beberapa peran yang lain yang tak kalah penting yaitu, Asisten I Tursilowanto Hariogi berperan sebagai Panglima Sudirman. Kepala Dinas Pariwisata, Halomoan Sinaga mendapat peran sebagai Brigjend Mallaby, dibantu peserta Diklatsar CPNS Pemkab Gresik sebagai tantara penjajah.
Sepertinya setting cerita mengambil sepenggal kisah saat terbunuhnya Brigjend Mallaby oleh para pejuang di depan gedung Internatio yang saat ada di sekitar Jembatan Merah Surabaya.
Diawali dengan keprihatinan Jenderal Sudirman tentang berkibarnya bendera Belanda di hotel Oranye. Kemudian berkumpullah para tokoh guna menyikapi keadaan tersebut. Bung Tomo (Sambari Halim Radianto) KH. Hasyim Asyhari (Mohammad Qosim) dan Gubernur Suryo (Nadlif),
“Saudara-saudara, jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka. kita tunjukkan bahwa kita orang-orang yang benar-benar ingin merdeka. Sikap kita, lebih baik hancur dari pada kita dijajah.” teriak tokoh Bung Tomo.
Sedangkan tokoh KH Hasyim Asyhari menyampaikan resolusi jihadnya.
“Bismillahirrohmanirohim, Hukum mempertahankan kemerdekaan dan membela tanah air bagi kita ummat Islam adalah Jihad fisabilillah. Niatkanlah menegakkan agama dan membela membela negara. Kalau kalian mati, InsyaAllah akan syahid dan masuk surga” ungkapnya.
Atas keprihatinan dan semangat bung Tomo tersebut pemuda Surabaya ngamuk. Surabaya pun akhirnya panas. Terjadi pertempuran selama tiga hari antara Brigade 49 dengan pejuang republik dari berbagai elemen.
Demi mengupayakan perdamaian mereka melakukan pawai bermobil di Surabaya. Pada 30 Oktober 1945. Rakyat di muka Gedung Internatio yang semula sudah tampak tenang, timbul amarahnya dengan beratus-ratus mengejar iring-iringan dan menutupi jalan hingga terpaksa rombongan berhenti. Mallaby sudah berada di luar mobil yang ia tumpangi sedang pistolnya oleh rakyat yang mengerumuninya sudah direbut. Rakyat yang sudah panas tak tahu siapa Mallaby. Disanalah Brigjen Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby tewas. (ali)