SURABAYA l bidik.news – Rencana pemerintah pusat untuk membuka skema pembiayaan sebagian anggaran BPJS Kesehatan melalui asuransi swasta menuai sorotan tajam dari DPRD Jawa Timur.
Anggota Komisi E DPRD Jatim Dr.dr. Benjamin Kristianto ,M.Kes , MARS menilai kebijakan tersebut berpotensi menambah beban biaya baru bagi masyarakat, terutama bagi kelompok peserta mandiri.
“Memang ada nuansa atau konsep bahwa sebagian pembiayaan BPJS akan dibebankan pada asuransi swasta. Tapi kalau fokusnya hanya pada layanan kuratif, anggaran itu jelas tidak akan pernah cukup. Yang lebih penting justru bagaimana kita memperkuat upaya preventif dan promotif,” kata Dr.dr. Benjamin di Surabaya, Selasa
(8/7/2025).
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, total peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per akhir 2024 telah mencapai 270,5 juta jiwa atau hampir 97% dari total penduduk Indonesia. Dari sisi pendapatan, BPJS mengumpulkan iuran sebesar Rp 175 triliun pada 2024.
Namun, di saat yang sama, biaya pelayanan kesehatan juga melonjak. Tahun lalu, total klaim yang dibayarkan BPJS ke fasilitas kesehatan mencapai Rp 155 triliun, dengan proyeksi tren klaim terus naik seiring penambahan layanan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Sementara itu, pemerintah melalui APBN 2025 menganggarkan subsidi iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 53 triliun untuk sekitar 96 juta peserta miskin dan tidak mampu. Namun, defisit pendanaan masih menjadi ancaman serius. Laporan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2024 memperkirakan potensi defisit JKN dapat menyentuh Rp 20–30 triliun per tahun jika tidak diantisipasi.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Februari 2025 lalu menegaskan perlunya keterlibatan asuransi swasta untuk kelompok peserta BPJS Kesehatan dari golongan mampu. Kebijakan ini disebut untuk mendukung pelaksanaan KRIS agar layanan rumah sakit lebih setara, tetapi pembiayaan tidak memberatkan BPJS.
“Memang untuk beban kesehatan yang total, termasuk orang kaya dan miskin dijumlah, itu sangat berat, impossible untuk ditanggung BPJS sendiri. Itu dasarnya. Jadi kalau yang kaya mau rawat inap kelas atas, ya ikut asuransi swasta,” ujar Budi kala itu di Jakarta (11/2/2025).
Skema ini akan diatur melalui model managed care atau pembagian risiko biaya (risk sharing) antara BPJS dengan perusahaan asuransi swasta. Beberapa praktisi asuransi menilai hal ini membuka peluang bisnis baru, tetapi di sisi lain menimbulkan pro-kontra soal perlindungan hak peserta.
Menurut dr. Benjamin, rencana tersebut belum menyentuh akar persoalan pembengkakan biaya kesehatan nasional, yaitu minimnya porsi anggaran untuk program promotif dan preventif.
“Kalau sekian persen pembiayaan diikutkan swasta, maka rakyat yang akan bayar.
Pertanyaannya, siapa yang mau menanggung beban baru ini? Selain iuran yang sudah ada, nanti masyarakat akan terbebani lagi. Sementara pemerintah harusnya menjamin kesehatan rakyat secara adil,” tegas politisi asal Dapil Surabaya-Sidoarjo itu. Ketua Kesira Jatim itu juga mendesak BPJS Kesehatan lebih transparan.
“Kenapa BPJS tidak meminta tambahan anggaran secara terbuka saja kalau memang dananya jebol? Kenapa harus melibatkan asuransi swasta? Ada apa di balik itu?” katanya.
“Yang paling benar adalah memperbesar porsi preventif dan promotif. BPJS juga harus fair, kalau anggaran kurang, sampaikan saja langsung ke Presiden Pak Prabowo Subianto dan Menteri Kesehatan. Persoalannya, berani tidak Direktur Utama BPJS ngomong: ‘Pak, anggaran kami tidak mencukupi?’” tandasnya.( Rofik )