Putusan Mahkamah Konstitusi yang masih hangat tentang batasan usia capres-cawapres yang akhirnya memberikan ruang bagi sang putra mahkota Jokowi yaitu Gibran, masih menjadi obrolan hangat di berbagai kalangan. Pro dan kontra terus menjadi bahasan tentang tema ini.
Keberadaan anak dan menantu sang Presiden yang mempunyai kekuasaan di Solo dan Medan belum lagi dipilihnya Kaesang sebagai Ketua partai yang tiba-tiba tanpa berproses sebagai mana layaknya kader yang lain demikian juga posisi sang ‘Pak Lik’ sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi yang semakin menguatkan klan keluarga Presiden ini.
Frasa Politik Dinasti-pun kini semakin juga ramai diperbincangkan, karena hiruk pikuk ‘cawe-cawe’ seperti semakin terlihat menjelang tahapan pendaftaran paslon capres cawapres ke KPU yang akan segera di lakukan dalam beberapa hari ke depan.
Kekuasaan memang ibarat candu yang mengasyikkan dan mengenakkan dan tidak salah juga orang tua mempersiapkan sesuatu yang berarti untuk melanggengkan kekuasaan lewat tangan keluarganya sehingga istilah cawe cawe bisa terus di lakukan ketika dirinya sudah tak berkuasa lagi.
Seperti guneman jawa yang sering kita dengar ‘lek wes lungguh, sampek lali ngadek’ (kalau sudah duduk, sampai lupa berdiri).
Kita mungkin tidak dapat melarang munculnya praktik politik dinasti dalam demokrasi elektoral. Namun, setidaknya dapat dicegah dan dihambat, tentu dibutuhkan pemikiran yang komprehensif dan regulasi yang kuat untuk setidaknya membatasi agar dan dinasti tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi.
Mahkamah Konstitusi yang di harapkan menjadi benteng terakhir akhirnya jebol, keputusan yang disertai dengan disenting opinion beberapa hakim majelis tidak menyurutkan keputusan untuk bisa memberikan ruang bagi capres cawapres yang belum berumur 40 tahun dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Kita juga tentu masih ingat bagaimana mendominasinya Presiden Soeharto di era orde baru tentu kondisi hari ini juga harus menjadi lonceng alarm bagi kita agar kekuasaan yang sentralistik dan oligarki tidak terjadi lagi.
Semua wajib mengingatkan baik akademisi, mahasiswa, buruh, petani dan siapapun agar praktik praktik mempertahankan kekuasaan agar tidak dilakukan dengan memberikan porsi yang terlalu berlebihan kepada pemimpin.
Kita mengingatkan karena kita sayang, karena jalinan prestasi yang ada menjadi ‘muspro’ dan akhirnya su’ul khotimah di akhir masa pemerintahan ini, karena lebih fokus pada perhelatan memenangkan dan mendudukkan keluarga di banding memberikan perhatian lebih pada menjaga demokrasi yang sehat, karena sesungguhnya Politik Dinasti adalah kemunduran demokrasi.
Plato menyebutkan bahwa oligarki merupakan bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi. Pemerintahan oligarki dipimpin dengan cerdik dan pandai oleh segolongan kecil elite demi kepentingan mereka sendiri.
Tentu sebagai anak bangsa kita tidak ingin oligarki ini membesar karena oligarki umumnya terjadi dan lahir untuk mengamankan kekayaan dari sekelompok elit ekonomi-politik, yang diikuti dengan upaya untuk dapat berkuasa atau mengatur kekuasaan yang ada.
Mari kita hidupkan alarm solidaritas dan kepekaan sosial kita untuk melawan rakusnya kekuasaan dan oligarki dengan terus menggelorakan dan menguatkan simpul simpul masyarakat bahwa tak ada kekuasaan yang absolut yang bisa mengatur negara ini dengan sekehendaknya karena masih ada rakyat sebagai pemilik sah sebagai pemberi mandat kekuasaan.
Maka perlu segera kita lakukan gerakan gerakan konstitusional melawan Politik Dinasti dan Oligarki yang sinyalnya semakin kencang kita rasakan.
#LAWANPOLITIKDINASTI
Penulis :
Fajar Isnaeni, MM.
Akademisi / Puket III STAI Darul Ulum Banyuwangi
Direktur Eksekutif Kampung Merdeka Banyuwangi