PASURUAN I BIDIK.NEWS – Sudiono Fauzan patut bersyukur karena sejak menginjak remaja sudah dididik dan di gembleng di pondok pesantren tepatnya di Ponpes Canga’an Bangil. Di Ponpes inilah Sosok Sudiono Fauzan yang akrab dipanggil Mas Dion banyak mendapatkan berbagai ilmu, karena dari Ponpes Canga’an inilah dia menimba kedisiplinan hingga rasa empati kepada lingkungan.
Sudiono Fauzan, lahir di Dusun Balepanjang Desa Pandean Kecamatan Rembang, pada 8 Desember 1974 ini, sangat kental dengan kehidupan ponpes. Orang tuanya, H. Fauzan (alm) dan ibunya Sunama, memang dulunya seorang santri. Keduanya menginspirasi Mas Dion untuk meneruskan perjuangan dan tradisi sebagai santri dengan menimba ilmu di pondok pesantren.
“Kehidupan saya memang lekat dengan pesantren. Sejak kecil, saya memang berkeinginan untuk meneruskan pendidikan di dunia pesantren,” kata anak pertama dari empat bersaudara ini.
Keinginan itu bukan tanpa sebab. Mas Dion beralasan, ponpes menerapkan pendidikan roll model yang komplit. Karena tidak hanya pendidikan agama yang didalami. Tetapi, pendidikan karakter dan juga akhlak. Di pesantren pula, santri diajarkan bagaimana berkhidmat atau memberikan pelayanan kepada siapapun.
Contohnya, dengan memasak dan menyiapkan makanan untuk ustad, guru ataupun senior. “Bahkan, hal yang paling kecil, seperti menyiapkan sandal untuk Kyai, juga ditanamkan di pesantren,” ungkap suami dari Helmy Kesetian Yudah ini.
Di Ponpes inilah, Dion terus menimpa ilmu pendidikannya, sehingga pada tahun 1991masuk di madrasah Aliyah di Ponpes Canga’an dan lulus 1994. Disinilah Dion banyak belajar beberapa hal mulai ilmu agama, umum dan akhlak.
Selama di ponpes itupula, pendidikan kedisplinan juga dilakoninya. Ia masih ingat ketika harus bangun pagi-pagi, sebelum subuh tiba. Sebuah keharusan bagi santri. Karena bila tidak, tentu ada sanksi yang dikenai.
Ia masih ingat ketika teman-temannya ada yang susah bangun. Pertama, mereka dibangunkan dengan mengetok pintu. Bila hal itu tidak membuat mereka bangun, maka akan disabet dengan penebah. Namun bila tidak juga bangun, maka santri tersebut akan digambyor dengan air.
Bukan hanya disiplin bangun. Tetapi juga disiplin untuk yang lain. Termasuk setor hafalan. Ia masih ingat bagaimana beratnya hidup di pondok. Ketika ada temannya yang tidak hafal tentunya hukuman yang bakal diterima.
Selama di pesantren tidak ada yang namanya kemewahan hidup. Karena kehidupan yang dirasakan begitu memprihatinkan, memang ini dilatih demikian.
Dion sangat berterimakasih dengan kehidupan pesantren ini. Karena di pesantren Dion sudah bergelut dengan organisasi, baik organisasi di pondok, sosial maupun politik.
Selain aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan menjadi Ketua Umum PC PMII Pasuruan Raya pada tahun 1996 hingga 1998 silam. Dan setelah lulus menyandang sarjana Dion mulai aktif di organisasi politik dan pilihannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jabatan demi jabatan terus disandangnya ketika menjadi kader PKB. Dan tahun 2004 Dion terpilih menjadi anggota DPRD termuda saat itu dengan usia 29 tahun.
Dan, sejak tahun 2011 hingga sekarang Dion didapuk menjadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan selama dua periode.
“Saya patut bersyukur karena sudah mencapai tingkatan politik menjadi Ketua DPRD kabupaten Pasuruan selama dua periode,” Ujar Sekretaris DPC PKB Kabupaten Pasuruan.
Dion menambahkan orang tua gak usah pesimis anaknya mondok mencari ilmu di pesantren, karena disitu kita banyak digembleng mengenai kehidupan yang hakiki.
“Yang penting kita harus serius mondok dan tawadhu kepada guru. Saya yakin pasti berhasil,” tegas ayah dari tiga putra ini. (rusdi)