BANYUWANGI | BIDIK.NEWS – Sejumlah aktivis senior Banyuwangi kembali menggelar Forum Diskusi Publik menyoroti kebijakan Bupati Dan Wakil Bupati Banyuwangi.
Diskusi ini menyoroti banyaknya pejabat Banyuwangi di Satuan Kerja Perangkat Daerah berstatus Plt atau Pelaksana tugas.
Dengan mengambil tema ‘Mengkritisi Kebijakan Bupati, Fenomena Plt SKPD dan Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan’,
diskusi ini digelar disebuah kafe di Kecamatan Genteng, Sabtu (27/08/2022).
Sejumlah narasumber yang hadir, yakni pakar Administrasi Publik Fisip Untag 1945 Banyuwangi Hari Priyanto dan dipandu MK Abbas, yang menjadi pemantik diskusi didampingi Danu Budiyono selaku Aktifis Sosial Politik Banyuwangi.
Acara itu berlangsung gayeng lantaran dihadiri Moh Rifai, aktivis senior yang juga mantan ASN bidang pendidikan. Sejumlah aktifs lainnya juga hadir diantaranya, Marsindi, Cak Toli, Langlang, Masruri, Faruq (perwakilan IAIDA Blokagung), Ainur Rofiq, Hendry, Reza, El Ha Abdillah dan Mukhlisin (inisiator diskusi).
Penggagas acara, Muhlisin mengatakan forum diskusi ini sebelumnya sudah berlangsung sebanyak tiga kali. Karena diselenggarakan dua minggu sekali.
“Forum diskusi ini digelar sebagai bentuk kecintaan kita smua kepada banyuwangi,dimana kita menyumbang pikiran, ide gagasan dalam bentuk kritik. Forum diskusi bersifat terbuka siapa saja boleh ikut dan hadir,” ujar Muhlisin.
Dalam paparannya, Hary Priyanto, menyampaikan, Plt adalah pejabat yang diberi mandat menduduki jabatan tertentu untuk melaksanakan fungsi pejabat definitif tanpa melupakan jabatan awalnya, misalnya sekretaris dinas diberi mandat menjadi kepala SKPD dengan batas waktu sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam aspek kesejarahan, birokrasi sebagai warisan kolonial belanda. Birokrasi sebagai kerajaan modern yang rajanya adalah pejabat (Thoha, 2005:2).
“Jika birokratnya banyak, maka pejabat menerapkan model Parkinsonian dalam pembagian struktur demi kepentingan kekuasaan politik. Struktur kebirokrasian menjadi besar tetapi tidak efektif dan tidak efisien. Tugasnya untuk mengendalikan masyarakat,” papar Hary mengutip model Orrwelian.
Semua pihak sepakat bahwa tidak boleh ada politisasi dalam pemerintah. Namun, kata dia, ‘kepentingan’ Plt dalam birokrasi menyebabkan bertabrakan dengan batasan untuk tidak berpolitik.
“Plt memiliki batasan kewenangan, yang berdampak memperlambat kepentingan pelayanan pemerintah itu sendiri,” tegasnya.
Sementara itu, Danu Budiyono yang juga Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Banyuwangi mengungkapkan, kebijakan Bupati Banyuwangi yang menetapkan sejumlah pejabat sebagai Plt termasuk Kepala DPMPTSP itu berdampak bagi para pengusaha yang mengajukan PBG (sebelumnya IMB).
“Dimana produk perizinan seperti PBG belum bisa diproses sejauh ini semenjak kepemimpinan Bupati Ipuk. Padahal di banyak daerah itu bisa, contoh saya ngurusi di Malang dan daerah lain jadi PBG,” ujar Danu.
“Hanya 1 di Banyuwangi yang PBG-nya sudah keluar yaitu masjid di Sraten, itupun setelah ada rame-rame ada demo,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Danu, ditinjau dari sudut manapun, jabatan Plt itu berdampak merugikan rakyat, juga mempertegas kaderisasi kepemimpinan birokrasi tidak jalan atau reformasi birokrasi di pemerintahan Banyuwangi jalan ditempat, mulai jaman Bupati Anas hingga Bupati Ipuk sekarang ini.(nng