SIDOARJO — Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir M Si hadir dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang digelar di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Kampus 1, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Selasa (3/3).
Acara bertajuk Dar al-Ahdi Wa as-Syahadah: Model Ideal Hubungan Agama dan Negara ini merupakan 1 dari 22 seminar yang diselenggarakan sebagai kegiatan dari Pra-Muktamar. Seminar yang berlangsung selama sehari ini dihadiri sekitar 1000 undangan seluruh Jawa Timur. Tampil juga sebagai pembicara, mantan Ketua PP Muhammadiyah Dr. Din Syamsudin, yang juga tampil pada sesi berikutnya.
Ditemui di sela-sela acara, Pimpinan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu mengungkapkan, “Tema ini sengaja kita angkat untuk refresh, memberi penyegaran, dan pemahaman terhadap khususnya umat islam maupun penggiat bangsa, bahwa Muhammadiyah melampaui dari organisasi islam lain yang telah merumuskan posisi dan sikap islam tentang Indonesia.”
Haedar, sapaan akrab Ketua PP Muhammadiyah ini menambahkan, “Bahwa bagi kami, antara keislaman dan keindonesiaan itu tidak ada sesuatu yang harus dipertentangkan.”
Pria kelahiran 25 Februari 1958 ini menyampaikan bahwa setelah Indonesia diproklamasikan dan dimerdekakan oleh para pendiri bangsa tahun 1945, sesungguhnya itu merupakan konsesus nasional, yang di dalamnya mayoritas muslim bersepakat menjadikan NKRI sebagai dasar Pancasila. “Bahwa ada pembeda antara Islam dengan Pancasila, lewat Piagam Jakarta yang kemudian terjadi titik temu, dimana sila-sila Pancasila itu bagi umat Islam sejalan, yang dapat mewadahi aspirasi bagi umat Islam, dan juga mewadahi aspirasi islam atau umat islam,” jelasnya.
Karena itu, sambung Haedar, maka umat islam Indonesia saat ini dan ke depan sampai kapanpun, tidak boleh lagi berpikir 2 hal. “Satu, menjadikan Indonesia sebagai negara agama, baik islam maupun agama lain. Karena kita sudah bersepakat Indonesia itu dasarnya Pancasila, yang sejalan dengan agama, lebih-lebih dengan Islam,” terangnya.
Dalam konteks ini, Haedar menjelaskan, hal ini menjadi sesuatu yang paradoks. “Menjadi pardoks kalau ada yang mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila, antara Pancasila dengan agama. Karena para pendiri kita telah menyelesaikannya,” jelasnya.
Yang kedua, Haedar memaparkan bahwa Indonesia jangan dijadikan sebagai negara sekuler atau ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. “Negara komunis atau negara sekuler yang menjauhkan agama dari negara. Dengan komitmen ini, maka Insya Allah menurut Muhammadiyah, kita tidak akan lagi mengalami dan melakukan perdebatan-perdebatan teologis atau ideologis, yang menyangkut hubungan antara agama dengan Pancasila dan NKRI,” ungkapnya.
“Apa kepentingan kita kedepan?” tanya Haedar saat ditemui usai penyampaian keynote speech dalam Pra-Muktamar.
Haedar menerangkan, bahwa persoalan teologis dan ideologis usai, maka akan aa tugas yang paling berat. “Bagaimana menjadikan Indonesia ini sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa, menjadi negara yang betul-betul merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Nah, dalam bahasa Muhammadiyah, cara berkemajuan di berbagai aspek kehidupan,” tuturnya.
“Kalau kita proyeksinya ke situ, maka Insya Allah kita akan mengerahkan seluruh energi, dan kolektif bangsa ini,” tambah Haedar.
Selain itu, Haedar memberi pesan kepada pemerintah, “Bagi pemerintah, harus jadi acuan juga bahwa dasar Pancasila itu sebagai sebuah kesepakatan nasional, integratif dengan agama, bahkan dengan kebudayaan bangsa. Karena pancasila lahir dari serapan nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa.”
Dan untuk seluruh penyelenggaraan negara itu juga harus mengintegrasikannya. “Para pejabat negara tidak boleh lagi bicara pertentangan antara negara dengan pancasila. Karena apa? selain menunjukan ketidakpahaman, juga akan memancing kembali konflik ideologis,” tegas Haedar.
Haedar mengakhiri penjelasannya. Ia mengungkapkan agar pemerintah bisa melangkah kedepan, yakni dengan menjadikan cita-cita nasional Indonesia sebagai orientasi dalam pergerakan. “Dasarnya sudah ada Pancasila, orientasi kita membangun bangsa juga sudah ada. Jadi Indonesia yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur. Tinggal usaha kita untuk mengerahkan segala kemampuan, mana yang menjadi tugas pemerintah, dan tugas organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah,” tandasnya.