SURABAYA | Selama ini kesenian reog Ponorogo diperankan oleh kaum laki-laki, termasuk pula Pembarongnya. Namun ada paguyuban seni reog yang semua pemainnya adalah perempuan semua. Yakni paguyuban seni reog perempuan “Sardulo Sareswari”.
Berdiri pada 2015 silam, reog yang diyakini sebagai satu-satunya paguyuban reog perempuan di dunia ini dibentuk oleh pecinta seni asal Ponorogo. Dengan niatan memberdayakan perempuan di Desa Sawoo, Kec. Sawoo, Kab. Ponorogo, Jawa Timur.
Ketua Paguyuban Reog Sardulo Sareswari, Tri Heni Astuti mengatakan, pendirian Paguyuban Reog Perempuan “Sardulo Sareswari” dilatarbelakangi keinginan membuat gebrakan baru dalam khasanah seni Reog Ponorogo.
Nama “Sardulo Sareswari” memiliki filosofis tersendiri. Sardulo berarti macan (harimau), dan Nareswari berarti perempuan atau bidadari. Paguyuban ini telah pentas di beberapa daerah, baik di dalam dan luar Ponorogo.
Meski beranggotakan semua wanita, tapi mereka mampu totalitas dalam setiap pementasan. Karena mereka sudah terlatih untuk memainkan peran, seperti menari barongan maupun gerakan ganongan. Atau pula Pembarong. Sulit, namun mereka tetap aktif berlatih dan pentas agar bisa mempromosikan reog Ponorogo. Targetnya adalah reog bisa mendunia.
Wanita yang jadi Pembarong ialah Mbak Preh. Kesan seorang pembarong harus laki-laki dan memiliki kekuatan ekstra dipatahkan olehnya. Dengan diiringi instrumen kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung, salompret. Mbak Preh mempertontonkan keperkasaan sebagai pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi dan rahang sepanjang pertunjukan berlangsung.
Dadak Merak ialah sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi 2 meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan.
“Untuk mengangkat dadak merak yang diandalkan ialah gigi dan tulang leher tanpa ada unsur mistis. Hanya mengandalkan rahang, leher, dan bahu,” ujar Mbak Preh, Sabtu (23/11/2019).
Setiap tahun, Paguyuban “Sardulo Sareswari” bisa pentas 7 kali. Setiap kali pementasan, bisa melibatkan 30 – 50 orang. Puluhan personil itu terdiri dari seorang warok tua, warok muda, pembarong, dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono.
Kesulitan Regenerasi
Diantara peran itu, yang paling sulit mendapatkan regenerasi ialah peran Pembarong. “Peran Pembarong cenderung mengandalkan fisik, apalagi perempuan. Kalau bersuami belum tentu suaminya mengizinkan. Tapi untuk peran lainnya, banyak anak-anak muda yang ikut pelatihan secara gratis seminggu sekali,” ujar Heni Astuti.
Kendati demikian, Heni mengaku beruntung Pemkab Ponorogo memberikan perhatian kepada seniman Reog Ponorogo. Dukungan itu berupa fasilitas pelatihan atau perlengkapan pentas.
“Tiap bulan Purnama, Pemkab Ponorogo memberikan jadwal pentas untuk setiap komunitas kesenian Reog. Masing-masing komunitas harus pentas di desanya masing-masing,” lanjut Heni Astuti sambil menyebut jika mau mengundang Paguyuban Sardulo Sareswari bisa menghubungi Tri Heni Astuti 085235083292 atau Agung “Kuncir” Nugroho di 081335744555.
Dukungan KADIN Institute
Saat menemui Direktur Kadin Institute sekaligus Tim Ahli Kadin Jatim Dr Ir Jamhadi, MBA. Heni Astuti didampingi Mbak Preh dan pengurus paguyuban Sardulo Sareswari. Berharap agar KADIN Institute bisa berkolaborasi untuk memajukan kesenian reog Ponorogo, khususnya Paguyuban Sardulo Sareswati yang para pemerannya ialah perempuan.
Harapan Heni Astuti ini mendapat sambutan positif dari Jamhadi. Menurut Jamhadi, kesenian reog merupakan sub sektor ekonomi kreatif yang harus dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya.
“Kami akan mendorong perusahaan atau event organizer atau lembaga pemerintahan supaya jika ada kegiatan untuk bisa menghadirkan kesenian lokal, baik itu kesenian tari, seni peran, atau reog. Misalkan HUT perusahaan, gathering konsumen, peletakan batu pertama, atau mungkin event yang menghadirkan pejabat selevel menteri atau tamu luar negeri,” ujarnya.
Menurut Jamhadi, keberadaan paguyuban reog jika didukung dan dikembangkan akan bisa memberi kontribusi terhadap potensi wisata budaya di Ponorogo. Apalagi, keberadaan Paguyuban Sardulo Sareswari yang anggotanya semua perempuan menjadi ikon baru dalam khasanah kesenian Reog Ponorogo.
“Paguyuban Sardulo Sareswari ini sangat unik. Ini akan menjadi perhatian baru para wisatawan lokal dan asing. Selain itu, bisa menjadi pendapatan ekonomi dan pemberdayaan bagi perempuan. Kami juga akan menjembatani dengan kedutaan atau atase agar kesenian ini bisa go internasional,” pungkas Jamhadi. (*)