SURABAYA | Pentingnya melakukan pemetaan dan perumusan ulang kebudayaan Jawa Timur digagas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) dengan menggelar forum group discussion (FGD), Kamis (24/10/2019).
FGD menghadirkan 18 narasumber yang berasal dari akademisi, praktisi, jurnalis, dan seniman itu mendiskusikan isu-isu terkini yang berkembang dalam kebudayaan Jatim.
Dibagi dalam 2 sesi FGD, mereka yang dianggap kompeten dalam memetakan dan merumuskan kembali kebudayaan Jatim itu di antaranya membahas isu pemertahanan dan penguatan budaya lokal, industri kreatif, hingga tantangan sebagai bagian kewargaan global.
Isu-isu mengingat bahwa posisi Jatim sebagai wilayah geografis dan administratif yang dalam realitasnya bukanlah sebuah entitas tunggal, melainkan plural sehingga perlu dibahas lebih intens lewat FGD.
Ketua Tim Perumus Lina Puryanti mengatakan, Pemetaan dan Perumusan Ulang Kebudayaan Jatim ini ada kaitannya dengan konsep bahwa Jatim sebagai satu teritori merupakan akumulasi dari sejumlah wilayah kebudayaan yang memiliki karakteristiknya masing-masing.
Berdasarkan riset Ayu Sutarto (2004) yang masih dijadikan acuan hingga saat ini, Jatim terdiri atas 10 wilayah kebudayaan. Diantaranya, sub kebudayaan Arek, Mataraman, Osing, Samin, Tengger, Pandalungan, Panaragan, Madura kepulauan, Madura-Bawean, dan lainnya.
Pembagian wilayah kebudayaan seperti tergambar pada bagan itu pada dasarnya bukanlah untuk membedakan dalam perspektif pemisahan, melainkan sebagai pemahaman karakteristik masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran Kluckhohn terkait 7 unsur kebudayaan, yakni sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem peralatan hidup dan teknologi, bahasa, dan kesenian.
Apabila dicermati, sejumlah wilayah kebudayaan di Jatim merupakan sintesis beberapa kebudayaan, seperti Mataraman yang mengakomodasi kebudayaan Jawa Tengah, dan Pandalungan yang menyatukan kebudayaan Jawa dan Madura. Fakta yang demikian memperlihatkan adanya dinamika budaya yang terjadi di masa lalu. Dengan perkataan lain, baik disadari maupun tidak, dinamika budaya adalah sebuah keniscayaan.
Seiring perkembangan zaman, dinamika budaya beroperasi dengan cara yang berbeda dari masa-masa sebelumnya karena tidak hanya melibatkan interaksi dan mobilitas manusia dalam ranah ruang harfiah. Manusia sebagai anggota sebuah kebudayaan bahkan telah bergerak melampaui ruang-ruang geografis sehingga sekat-sekat kebudayaan klasik pun tidak lagi sepenuhnya dapat mengakomodasi perkembangan yang demikian.
“Apakah dengan perubahan zaman, misalnya berkembangnya teknologi informasi, nilai-nilai budaya masih tetap atau mengalami perubahan. Apakah justru kondisi kekinian membuat lebur ‘batas-batas’ sub kebudayaan itu?. Itulah mengapa kebudayaan Jatim perlu dipetakan dan dirumuskan kembali,” ujar dosen Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair itu.
Ditambahkan Lina, salah satu kunci jitu dan efektifnya strategi pemajuan kebudayaan suatu daerah adalah cermat dan tepatnya konsep pemetaan kebudayaan di daerah tersebut. “FGD ini hendak mengarah ke sana sehingga kita mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana kebudayaan Jatim itu dipetakan. Hasilnya akan kami rekomendasikan agar bisa menjadi salah satu rujukan Pemprov Jatim untuk mengambil kebijakan dan mengatur strategi kebudayaan ke depan,” ujar Lina.
Sedangkan Kepala Disbudpar Jatim, Sinarto menambahkan, Pemprov Jatim telah memiliki program terkait kebudayaan, salah satu luarannya adalah dokumen “Pokok Pikiran Kebudayaan Jatim”. Dalam dokumen itu disebutkan sejumlah permasalahan umum terkait kebudayaan, di antaranya; kurangnya pemahaman budaya tradisional pada generasi baru, kurangnya regenerasi seniman tradisional; kurangnya dokumentasi, inventarisasi, dan kajian kebudayaan, kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pelestarian budaya.
“Salah satu titik penting dalam permasalahan ini adalah aspek kewaktuan. Permasalahan di sini tidak selalu bersifat negatif, tetapi bagaimana perubahan arah budaya menyebabkan kegamangan, baik pada anggota masyarakat budaya maupun pemerintah dalam kaitannya strategi dan regulasi kebudayaan,” kata Sinarto.
Dalam perkembangannya, dinamika budaya kekinian dipengaruhi perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Mobilitas tidak lagi dipahami sebagai perpindahan secara fisik. Pada titik ini pula, ruang meluas, batas-batas geografis dan budaya menjadi samar, dan identitas mencapai titik paling cair.
Pada konteks ini, generasi melek media memainkan peranan penting. Mereka memang tidak sepenuhnya menghasilkan produk atau artefak budaya, tetapi bisa dikatakan bahwa mereka telah membangun sistem nilai atau pandangan dunia yang tidak lagi sama dengan akar budaya asalnya.
Untuk mendapat masukan dan pandangan yang komprehensif tentang masalah di atas, 18 narasumber yang dianggap memiliki ekspertis di berbagai bidang dihadirkan. 9 pakar secara khusus berdiskusi dalam sesi pertama tentang “Pemetaan Kebudayaan Jatim” di antaranya: Dr Aribowo (akademisi Unair), Dr Samidi (akademisi Unair), Prof Djoko Saryono (akademisi Uiversitas Negeri Malang), Taufik Monyong (Presidium Dewan Kesenian Jatim), Dr Mutmainah (akademisi Universitas Trunojoyo), Burhanuddin (aktivis Pulau Bawean), Supoyo (budayawan Tengger), Hasnan Singodimayan (budayawan Osing), Mbah Harjo (tokoh masyarakat Samin).
9 lainnya akan berbincang tentang “Proyeksi Industri Kreatif dan Pariwisata Berbasis Kebudayaan” di antaranya, Muhammad Ilham (akademisi), Prof. I.B. Putera Manuaba (akademisi Unair), Yogi Ishabib (pekerja sosial seni budaya), Wimar Herdanto (sineas), Mashuri (Sastra dan Naskah Kuna), Kharisma L. Junandaru (musisi), dan Abdul Rokhim (Pemred Jawa Pos).
“Dari hasil diskusi ini akan kami jadikan bahan untuk melakukan perumusan yang akan menjadi bahan pertimbangan gubernur dan dinas-dinas terkait masalah-masalah kebudayaan,” pungkas Lina. (hari)