JAKARTA | BIDIK NEWS – Berbagai modus korupsi yang dilakukan beberapa Kepala daerah di Indonesia . Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengendus hingga menetapkan sebagai tersangka , baik meĺlalui Operasi Tangkap Tangan ( OTT) maupun melalui proses penyelidikan . KPK mengaku hingga hari ini telah menangani sebanyak 107 kasus korupsi yang menjerat Kepala daerah.
“Kasus terakhir menambah deretan jumlah kepala daerah dan jajaran di bawahnya, yang kasusnya diproses oleh KPK dengan berbagai modus korupsi. Hingga saat ini KPK sudah menangani 107 kasus terkait kepala daerah,” kata Basaria kepada media saat mengelar konferensi pers, Kamis, 11 Juli 2019.
Adapun kasus terbaru yang kini tengah diproses oleh KPK adalah dugaan suap izin prinsip dan lokasi reklamasi di wilayah sekitar Provinsi Kepulauan Riau atau Kepri. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Gubernur Kepri) Nurdin Basirun.
Selain Nurdin, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofan dan Kepala Bidang Perikanan dan Budi Hartono juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan pihak swasta bernama Abu Bakar, oleh KPK juga ditetapkan sebagai tersangka sebagai pemberi suap.
Kasus ini bermula ketika Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPSK) Provinsi Kepulauan Riau untuk di bahas di Paripurna DPRD Kepulauan Riau.
Pada Mei 2019, seseorang bernama Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resort dan kawasan Wisata seluas 10,2 Hektar. Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung.
“NBA, selaku Gubernur Kepulauan Riau kemudian memerintahkan BUH dan EDS untuk membantu ABK supaya izin yang dilakukan ABK segera disetujui,” kata Basaria dalam konferensi pers.
Untuk mengakali hal tersebut, Budi Hartono menyuruh Abu Bakar agar menyebut akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya.
Setelah itu, Budi Hartono memerintahkan Edy Sofan untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin Abu Bakar segera disetujui. “Dokumen dan data dukung yang dibuat Edy Sofan tidak berdasarkan analisis apapun. Yang bersangkutan hanya melakukan copy paste dari daerah lain,” kata Basaria.
Pada 30 Mei 2019, Nurdin menerima sebesar Sing$ 5.000 dan Rp 45 juta. Kemudian esoknya, 31 Mei 2019 terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar untuk luas area sebesar 10,2 hektar. Menyusul pada 10 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar Sing$ 6.000 kepada Nurdin melalui Budi Hartono.
Sebagal pihak yang diduga penerima suap dan gratifikasi, Nurdin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, dan Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lalu untuk Edy Sofan dan Budi Hartono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan, Abu Bakar sebagai pemberi, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau humf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pldana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.