BIDIK NEWS | MALANG – Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu.
Pemberontakan, Mungkin puisi Wiji Thukul itu jelas menggambarkan bagaimana kebebasan berpendapat pada masa orde baru hingga 20 tahun reformasi masih sangat dibatasi oleh Negara. Tampaknya ini wujud kemunafikan negara, padahal mengemukakan pendapat dijamin secara konstitusional yang tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar RI 1945 menentukan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya.
Hal ini tampaknya sangat kontradiktif dengan apa yang dinyatakan “John Locke” , bahwa manusia sebagai manusia, terpisah dari semua pemerintah atau masyarakat.
Berpendapat adalah wujud hak asasi yang diperoleh manusia sejak lahir yang tidak boleh dirampas oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru memaksakan rakyatnya memiliki satu pendapat melalui media massa.
Dizaman Orde Baru , Media massa menjadi senjata ampuh untuk melanggengkan pemerintahan yang otoriter .
Nampaknya, kegiatan berpendapat manusia tidak bisa dilepaskan dari apa yang dinamakan dengan media massa. Media massa secara umum merupakan alat atau fungsi kontrol kemasyarakat .
Jadi media massa bisa diartikan sebagai penghubung antara sumber pendapat ke penerima pendapat. Di rezim Orde Baru, orang atau media massa sangat terbelenggu oleh pemerintah. Jika media massa dalam penyebaran informasi terdapat konten yang mengkritik atau provokatif terhadap penguasa, maka media itu pasti akan dituduh subversif dan terancam pembredelan.
Maka tak heran pada rezim Orde Baru, jumlah media massa relatif sedikit. Bahkan di zaman Orde Baru juga terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku berhaluan kiri seperti karya dari Paramoedya Ananta Toer, bahkan orang dengan pemikiran kiri juga dihakimi tanpa pengadilan serta ada sebagian kaum cendekiawan yang menjadi Tapol.
Media massa mengalami disfungsi di zaman Orde Baru. Memasuki masa reformasi agaknya kebebasan berpendapat mulai mendapat ruang, hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 9/1998 tentang mengemukakan pendapat di muka umum dalam pemenuhan jaminan hak asasi manusia.
Tapi dalam beberapa pasalnya masih terdapat liabilitas dalam mengemukakan pendapat. Seiring era reformasi yang dibarengi dengan masuknya jaringan internet, penyampaian pendapat atau informasi aktual dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh apa yang dinamakan generasi Z.
Pada era ini kehidupan masyarakat agaknya tidak bisa dipisahkan dari gadget. Setiap orang bangun tidur langsung mencari ponsel untuk melihat informasi yang terbaru. Melalui media massa masyarakat minimal mendapatkan beragam hiburan dan informasi terbaru.
Hal ini juga menyebabkan terjadinya transformasi model berpendapat. Hampir 92,4 % masyarakat memiliki kecenderungan membaca berita melalui media sosial (Medsos). Tak pelak generasi sekarang kurang memverikasi informasi atau berita yang diperoleh.
Bahkan dalam medsos banyak terdapat informasi yang kurang kredibel (Hoax). Maraknya penyebaran informasi melalui media sosial menimbulkan keresahan bagi pemerintah sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan yang krusial dengan disahkannya UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat melalui elektronik.
Sekali lagi pembatasan kebebasan berpendapat juga mengalami transformasi mengikuti perkembangan zaman.
Selain melihat transformasi berpendapat dan media massa diatas, ada sisi lain yang menurut saya
Sampai sekarang banyak terdapat kasus pembubaran dan intimidasi ruang-ruang diskusi tentang wacana yang berbau Marxis di lingkungan bermasyarakat maupun akademis. Bahkan yang lebih menggelitik adanya pembubaran film di kampus.
Hal ini sudah mematikan substansi kebebasan akademik. Apakah salah ketika orang mulai merasionalisasikan ideologi yang dianggapnya benar ?. Ideologi adalah sebuah pandangan hidup maupun sistem nilai menyeluruh yang setiap insan berhak memilihnya.
Melarang ideologi atau pemikiran adalah sia-sia. Melihat dari sudut pandang sosiologis, hal yang dilakukan diatas adalah wujud pemerintah yang berstatus kelompok dominan yang memiliki kemampuan mendefinisikan realitas sosial dan masyarakat sebagai kelompok subkordinat hanya sebagai penikmat realitas-realitas sosial.
Hal tersebut coba diimplementasikan oleh sekelompok dominan dengan mendoktrin masyarakat dalam banyak hal mengandung kepentingan politis .
Perilaku doktrinasi politis yang menginstitusionalisasi masyarakat sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Peter L. Berger, institusionalisasi berarti proses bagaimana suatu perilaku menjadi berpola.
Jika tidak ada kebijakan yang mengatur, Perilaku semacam ini akan menjadi habitualisasi setiap menjelang pemilu karena dirasa ampuh menjadi senjata mendapatkan perolehan suara. Ideologi dan institusi harus dijelaskan dan dipisahkan (clear and distinctly).
Negara seharusnya menjamin dan memfasilitasi kebebasan pendapat masyarakatnya. Di ranah akademis, kampus bukan hanya sebagai pencetak tenaga kerja, tapi juga menghidupkan suasana akademis.
Ketika hal itu dilakukan negara dan kampus, masyarakat memiliki kebebasan berpendapat dan masyarakatnya memiliki rasionalitas yang tinggi. Di kampus akan tercipta ruang diskusi yang diharapkan dari kaum intelektual ini bisa berpikir secara progresif dan turut membantu akan permasalahan di tanah air.
Pendapat adalah buah hasil dari rasio, rasio ada pada setiap diri manusia. Ketika manusia mempunyai rasio, secara otomatis ia juga akan berpikir dan menghasilkan apa yang dinamakan pemikiran atau pendapat. Penulis : Fitriani Imelda L, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.